Kali ini saya akan sedikit mengenal kan sebuah ungkapan yang sangat sering didengar ditatar sunda. Ungkapan yang lugas, bermakna, bahkan mungkin malah bisa dikatakan sebagai sebuah adagium. "Mangga Tipayun", mungkin sudah sering didengar. Secara bahasa, "Mangga Tipayun" memiliki arti "silahkan duluan". Mari kita sedikit berimajinasi. Bagi anda cowok-cowok kece, bayangkan suatu saat ketika akan melakukan shalat berjama'ah disebuah mushola kecil dipojokan Mall Megah, kita ditawari untuk menjadi imam. Perlu waktu 5-10 hingga akhirnya ada yang berani maju sebagai imam. Dari satu orang ke orang lain, posisi sebagai imam terus ditawarkan. Setiap orang menjawab, "mangga tipayun". Sebagian lainnya langsung mengumandangkan iqamah, karna ada yang berkeyakinan orang yang mengumandangkan iqamah, lebih baik tidak menjadi imam. Setelah ada yang maju sebagai imam, shalat berjamaah pun dimulai. Dan ternyata, mulai dari kekhusyuan (tertib) hingga bacaan shalatnya tidak meyakinkan. Sebagai ma'mum, ketika tahu bahwa bacaan yang dilafalkan imam tidak baik, gerakannya tidak tertib, tentu ada rasa tidak "sreg". Bahkan mungkin jika dibandingkan dengan kita sebagai imam, shalat berjama'ah yang dilakukan akan lebih menentramkan hati, lebih tertib, lebih baik melafalkan bacaan-bacaan shalatnya. Penyesalan pun datang, "andai tadi yang maju sebagai imam itu adalah saya".
Mari kita bahas ilustrasi di atas. Ketika sebagian besar orang menolak untuk menjadi imam, secara tidak langsung merupakan cerminan dari sikap yang terkandung dalam ungkapan "mangga tipayun". Artinya, lebih cenderung untuk menyerahkan tanggung jawab kepada orang lain. Mungkin karna kurang percaya diri, merasa ada orang lain yang lebih baik, atau mungkin juga karna kita segan dengan orang yang lebih tua. Akan tetapi, seperti kata pepatah bahwa "penyesalan selalu datang belakangan". Dalam ilustrasi di atas, kita menyesali keputusan kita untuk mempersilahkan orang lain menjadi imam padahal ternyata orang yang maju menjadi imam tidak lebih baik dilihat dari beberapa indikator (sesuai dg ilustrasi di atas). Mudah mengobati penyesalan ini jika hanya masalah lebih baik, tetapi jika sudah menyangkut syarat syah shalat, urusannya lain. Bahkan mungkin bagi sebagian muslim, lebih baik mengulang shalat tersebut.
Oke, sekilas kita sudah menemukan permasalahannya. Jika digeneralisir, masalah utamanya adalah mindset. Merasa orang yang lebih tua itu selalu lebih baik, ini masalah mindset. Bahwa ternyata, faktanya dalam hal tertentu banyak juga yang lebih tua ternyata tidak lebih baik. Merasa ada yang lebih pantas dari kita, ini juga masalah mindset. Batul bahwa di atas langit masih ada langit. Akan tetapi, dalam konteks sosial. Bisa dikatakan sulit menemukan indikator pasi yang bisa dijadikan acuan. Masa iya di tempat umum, dengan orang-orang yang tidak kita kenal, untuk menentukan imam shalat di test dulu bacaannya?
Rasa tidak percaya diri juga merupakan masalah mindset. Kita membandingkan kemampuan kita dengan hal-hal yang kita bayangkan, dimana tidak ada tolak ukur pasti. "ah, si bapa eta mah pakaianna islami, shalatna bakal leuwih alus (bapak yang itu pakaiannya lebih islami, sepertinya shalatnya juga akan lebih baik)", serta banyak andai-andai lainnya, yang tidak bisa diukur, tapi dijadikan tolak ukur. Faktanya, orang yang kita nilai akan lebih baik ketika mengimami dibandingkan dengan kita, ternyata bertolak belakang dengan penilaian kita.
Mari kita berandai-andai, andai kita percaya diri bahwa kita bisa mengimami shalat tersebut secara khusyu. Andai kita tidak terjebak pada tolak ukur yang tidak terukur. Andai kita merubah cara berpikir "Mangga Tipayun" manjadi "Punten, Abdi Dipayun". Pasti tidak ada penyesalan akan shalat berjama'ah yang kita imami. Untuk merupah mindset tersebut, tentu harus dibarengi dengan peningkatan kemampuan agar ketika ada peluang mempin, kita bisa menuntaskannya dengan baik. Dalam hal shalat, sedikit demi sedikit tentu harus meningkatkan kemampuan melafalkan bacaan-bacaan shalat, pengetahuan shalat yang baik, dll. Yang paling penting adalah, kita harus berani mengambil keputusan untuk memanfaatkan peluang. Sehingga kita layak mengucapkan, "punten, abdi dipayun".